Authentication
353x Tipe DOCX Ukuran file 0.02 MB
Pelanggaran Kode Etik Psikologi dalam Perilaku Seksual terhadap Klien Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Kode Etik Disusun Oleh: Benita Bunga Parinding (707102002) FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM MAGISTER FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA 2011 KASUS Seorang wanita, A datang kepada sebuah biro konsultasi psikologi, dan bertemu dengan psikolog S. A datang keluhan ingin mengakhiri hubungan pernikahannya dengan suaminya. A telah dikarunia seorang anak perempuan yang berusia 8 tahun. Awalnya A bercerita panjang mengenai keluhannya sampai seringkali menangis. Petemuan berjalan selama 3 kali sesi pertemuan. Selama sesi tersebut, S berusaha memberikan solusi kepada A, namun sepertinya solusi tersebut tidak berhasil diaplikasikan oleh A, sehingga A sering datang kembali menemui S dan mencurahkan isi hatinya. S berusaha mendengarkan dan memberikan solusi kepada A, namun selama sesi berlangsung, S menaruh rasa belas kasihan yang berlebihan sehingga S merasa tertarik oleh A. Selama sesi konseling berlangsung, S seringkali berusaha mengelus punggung A pada saat A menangis, berusaha memegang tangan A, ataupun berusaha mencium kening A untuk menenangkan A. S beberapa kali mengajak makan A, dengan tujuan agar S dapat menghibur A dan membuat A melupakan sejenak permasalahan yang sedang dihadapinya. Pada awalnya A merasa sentuhan yang diberikan oleh S adalah sentuhan yang wajar, namun karena semakin seringnya S melakukan hal tersebut, dan semakin seringnya S mengajak A untuk makan bersama, A menjadi merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut. Hal ini membuat A meminta untuk bertemu dengan pimpinan biro konsultasi tersebut, dan mengeluhkan perilaku yang dilakukan oleh S membuat A merasa tidak nyaman. Setelah kejadian tersebut, A seringkali merasa sedih dan marah terhadap kehidupanya. A menyatakan bahwa pergi bertemu psikolog adalah jalan keluar yang terbaik karena A yakin dengan bertemu psikolog, psikolog mampu membantu A mengatasi masalahnya. Karena kejadian ini, A tidak percaya lagi kepada psikolog dan lebih memilih untuk berkonsultasi mengenai masalahnya dengan teman atau keluarganya. Sexual Misconduct Sexual misconduct atau pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks (Wikipedia, 2011). Seorang terapis / psikolog yang melakukan kontak seksual dengan kliennya dapat menimbulkan kerusakan psikologis yang parah bagi kliennya (Pope, & Vasquez, 2001). Kontak seksual antara psikolog dan klien merupakan pelanggaran terhadap prinsip etika, yaitu psikolog bertugas untuk menghindari perilaku yang mencelakakan kliennya. Kerusakan psikologis dapat timbul secara cepat, ataupun dapat terpendam terlebih dahulu dan muncul dikemudian hari. Pope & Vasques (2001) mengemukakan bahwa efek negatif dari perilaku ini membentuk pola yang disebut “the therapist-patient sex syndrome”. Secara spesifik, Pope (dalam Welfel, 2002), mengemukakan terdapat 10 tampilan dalam sindrom ini pada klien, yaitu: Rasa marah kepada terapis, termasuk rasa jijik dan rasa takut. Rasa bersalah terhadap perilaku sendiri, walaupun klien tidak bertanggung jawab atas perilaku seksual tersebut. Rasa kesepian dan isolasi yang dialami, serta ketidakmampuan untuk menjalin hubungan yang dalam dengan orang lain. Rasa bingung terhadap identitas seksual. Ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain, khususnya pada terapis lainnya, akibat rasa trauma yang dialaminya. Kebingungan dari segi identitas, batasan dan peran dirinya dan orang lain. Kelabilan emosi. Kemarahan yang terpendam. Meningkatnya kemungkinan bunuh diri akibat dari rasa bersalah dan rasa tidak memiliki harapan. Gambaran traumatik yang terus muncul dibenak klien. Efek negatif lain yang dapat terjadi pada klien yang mengalami hal ini adalah klien enggan melanjutkan terapi, meskipun permasalahan yang sedang dihadapi belum terpecahkan, dan permasalahan yang ditimbulakan oleh terapis terhadap klien membutuhkan perhatian (Welfel, 2002). Pelanggaran Pasal Kode Etik Psikologi Indonesia (2010) Berdasarkan kasus diatas, terdapat beberapa pelanggaran yang telah dilakukan berdasarkan pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Psikologi Indonesia, antara lain adalah: 1. Pasal 2, Prinsip E (Manfaat), butir 1: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada kesejahteraan umat manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait. S tidak memberikan kesejahteraan kepada A, sebagaimana yang tertera pada pasal kode etik diatas. S justru memberikan rasa tidak nyaman kepada A yang berdampak pada perilaku A dalam menghadapi permasalahan sehari-hari, serta merubah pandangan A terhadap psikolog. 2. Pasal 2, prinsip E (manfaat), butir 3: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organisasi maupun politik yang mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh mereka. Terjadinya faktor pribadi dalam diri S, yaitu ketertarikan pribadi yang dimiliki S terhadap A. Hal ini membuat S tidak berperilaku profesional kepada A, yaitu membantu A memecahkan masalahnya. 3. Pasal 11 (masalah dan konflik personal), butir 3: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa masalah dan konflik pribadi mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mampu menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain, sebagai akibat dari masalah dan/atau konflik pribadi tersebut. Adanya perasaan yang timbul didalam diri S terhadap A, rasa tersebut menimbulkan masalah diantara S dan A, yaitu ketidaknyamanan yang dirasakan oleh A, sehingga kinerja S pun menjadi tidak maksimal.
no reviews yet
Please Login to review.