145x Filetype PDF File size 0.14 MB Source: repository.iaimsinjai.ac.id
Jurnal Al-Qalam, Vol. 10 No. 2 Tahun 2018 Learning Classroom Environment (LCE) and Smart Learning Environments (SLEs) Urgensi, Adaptasi dalam Penciptaan Pembelajaran Abad 21 Umar Institut Agama Islam Muhammadiyah Sinjai E-mail/Tlp: oemar.tech.iaim@gmail.com / +6285255199273 Abstrak Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pentingnya mempromosikan pembelajaran abad 21 (21st Century Learning), adaptasi dan transformasi konsep lingkungan belajar dari berbasis konvesional keberbasis lingkungan belajar cerdas (Smart Learning Environment). Faktanya pengelolaan lingkungan belajar kurang berkembang secara dinamis padahal pembelajaran abad 21 menuntut pentingnya menekankan pelibatan siswa dan mengadaptasikan dengan teknologi yang relevan dengan potensi dan bakatnya. Sub pembahasan ini menguraikan dasar konseptual belajar−pembelajaran dan lingkungan belajar, eksistensi lingkungan belajar kelas, konsep lingkungan belajar cerdas, konsep pembelajaran abad 21 dan adaptasi transformasi LCE & SLEs dalam Pembelajaran abad 21 (21st Century Learning). Penulisan ini menggunakan kerangka deskriptif desain kualitatif dengan pendekatan library research, data dikumpulkan dari hasil orientasi bacaan sumber-sumber otentik yakni buku, jurnal dan literatur yang relevan dan dianalisa melalui reduksi, display dan verifikasi sebagai penarikan kesimpulan. Pembelajaran abad 21, konsep LCE & SLEs membutuhkan sinergi dan integrasi sebagai satu kesatuan lingkungan belajar modern yakni berbasis konvensional dan berbasis lingkungan pembelajaran cerdas yang akan memperkuat eksistensi pembelajaran dengan tujuan menjadikan belajar cerdas smart learning and good online learner sebagaimana orientasi pebelajar millenial. Konteks lingkungan belajar yang tepat akan menciptakan pembelajaran kondusif, efektif dan efisien yang memerlukan harmonisasi dan interaksi yang tepat, serat dukungan berbagai pihak. Kata Kunci: LCE, SLEs, Urgensi−Adaptasi, Penciptaan Pembelajaran Abad 21 1. LATARBELAKANG Pola kehidupan pada abad 21 ini telah menetapkan teknologi sebagai variabel penting dan saling terhubung, memerlukan kompetensi komplit agar manusia tidak terpental dari ranah global yang penuh kompetisi. Kenyataan ini tidak dapat diditolak generasi millenial apabila berhadapan dengan gelombang entitas yang punya kompetensi tinggi. Dalam konsep pendidikan mutlak mengadaptasikan generasi millenial pada lingkungan teknologi melalui proses pembelajaran atau ST dikenal pembelajaran abad 21 (21 Century Learning). Pembelajaran abad 21 menuntut kompetensi tinggi dengan beragam keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa diantaranya yaitu berpikir kritis dan mampu memecahkan masalah, terampil berkomunikasi, kolaboratif, terampil berinovasi dan berkreasi serta memiliki kemampuan literasi yang baik, memiliki kesadaran emosi, memiliki kompetensi budaya dan sebagainya. Capaian atas indikator penting ini masih menuai kendala dalam implementasi pembelajaran sedangkan beragam problem global terus bergelinding menuntut penyelesaian dan kemampuan yang memadai. Survey PISA dan TIMSS tahun 2015 tentang hasil pembelajaran di Indonesia menyimpulkan jika hasil pembelajaran berupa kompetensi yang dimiliki siswa Indonesia belum begitu memuaskan dan belum mampu bersaing secara lebih luas meskipun pada beberapa indikator mengalami peningkatan (Nizam, t.t.) (https://puspendik.kemdikbud.go.id/). Indikasi kurang baik itu menujukkan jika kualitas pendidikan kita masih memerlukan dorongan dan upaya keras melalui proses pembelajaran. Problem nyata demikian akan berimplikasi pada kesenjangan dan lambatnya produktivitas dalam berbagai sentra pembangunan. Untuk menopang problem-problem demikian maka peran pembelajaran di sekolah sebagai pusat utama center of excellent penting memperhatikan diantaranya yaitu; adaptasi pembelajaran dengan mendasarkan kebutuhan dan pelibatan diri siswa secara seksama dan adaptasi lingkungan AL-QALAMJurnal Kajian Islam & Pendidikan 1 Jurnal Al-Qalam, Vol. 10 No. 2 Tahun 2018 pembelajaran untuk mendukung pembelajaran abad 21. Secara khusus pelibatan siswa secara aktif dalam lingkungan belajar kelas maupun dalam lingkungan belajar cerdas sebagai komponen utama dalam proses pembelajaran sangat berkaitan dengan penciptaan pembelajaran abad 21. Hubungannya terdapat proses, tempat dan waktu yang dapat mendorong pembelajaran yang dinilai dapat efektif. Lingkungan pembelajaran kelas (Learning Classroom Environmen) memiliki sejarah yang unik dan solid telah bertahan dalam rentang waktu yang cukup lama, umumnya digunakan sepanjang lahir dan berkembangannya kegiatan pembelajaran selama ini. Sifatnya konvensional dan tradisional telah menyita perhatian selama beberapa dekade belakangan dengan lahirnya beragam teknologi yang beradaptasi dengan pembelajaran, melampaui ruang fisik serta yang dilibatkan dalam proses ST pembelajaran abad 21 (21 Century Learning) yakni generasi Z (Millenial). Menurut (Boholano, 2017) pembelajaran dalam konteks ini berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana kebutuhan siswa di sekolah dan masyarakat sosialnya menjadi fokus penting untuk difasilitasi. Menyiapkan anak didik adalah menyesuaikannya dengan konteks kebutuhkan baik diri maupun lingkungannya. Kaitan ini (Psotka, 2017) telah mengajukan pertanyaan dan kerangka tentang apa yang patut diajarkan?, serta cara terbaik untuk menciptakan lingkungan. Bahkan lingkungan, model dan pendekatan pedagogik yang efektif untuk mendukung pembelajaran abad 21 yang cukup beragam (Natalie B. Milman, 2014). (Walters, Jim, 2007) mengemukakan bahwa ruang kelas telah disebut laboratorium eksperiment anak, mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah sehingga penting untuk diperhatikan peran manajemen kelas dalam dinamika pengalaman dan kesuksesan mereka. Menurut (Lanqin, 2012) jika diantara masalah sekarang dalam dunia pendidikan adalah lingkungan kelas dimana siswa diajar dengan intruksional guru yang membuatnya canggung dalam proses pembelajaran. Pandangan ini menyoroti upaya dan pentingnya kerangka konsep pembelajaran yang diadaptasikan lingkungan belajar dimana siswa tidak hanya terfokus pada dimensi kelas yang klasik tetapi lingkungan nyata (virtual) maupun digital (digital environment) merupakan media penting zaman sekarang ini yang akan memperkuat eksistensi lingkungan kelas. Sehingga bukanlah konsep tunggal tanpa adaptasi dari lingkungan belajar lain. (Evertson M. Carolyn, 2009) turut menyarankan jika peserta didik harus memiliki kesempatan belajar yang lebih luas agar efektifitas pengelolaan kelas tetap terjaga. Tak ketinggalan (Degeng, 1998:11) mengajukan pandangan jika unsur penting dalam lingkungan belajar adalah kebebasan, mencari makna (meaningfull). Konteks lingkungan belajar dalam pembahasan ini memaparkan lingkungan belajar kelas (learning classroom environment) maupun lingkungan belajar cerdas (smart learning environments) sebagai perihal yang harus selalu diadaptasikan seriring dengan pentingnya pembelajaran diabad 21, lingkungan belajar yang solid dan paradigma yang baru memiliki konsep berbeda dan beragam upaya mengadaptasikan lingkungan belajar tersebut untuk penciptaan pembelajaran abad 21. Lingkungan belajar (learning environment) dalam konteks psikologi memiliki kompleksitas yang tinggi sehingga membutuhkan perancangan dan penataan yang efektif guna mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan. Oleh karena itu menurut (Dale, 2012) kuncinya adalah mengatur lingkungan pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa dapat membangun pengetahuan dan keterampilan yang baru secara efektif. Pemaparan berikut akan menguraikan tentang; (1). Konsep dasar belajar, pembelajaran dan lingkungan belajar?, (2). Eksistensi lingkungan belajar kelas?, (2). Konsep Smart Learning Environment?, (3). Konsep pembelajaran abad 21?, (4). Pentingnya adaptasi dan transformasi lingkungan belajar kelas dan lingkungan belajar cerdas dalam perubahan pembelajaran abad 21? 2. METODOLOGI Jenis dan pendekatan dalam tulisan ini bersifat library research dengan deskriptif kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui sumber tidak lansung. Dalam hal ini menurut (Sugiyono, 2011: 193) sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui dokumentasi. Penulis melakukan dengan metode orientasi bacaan pada berbagai sumber-sumber yang dinilai tepat, baik dari buku-buku, jurnal terakreditasi, makalah, maupun literatur (online dan offline). Sedangkan analisisnya menggunakan model melalui reduksi data (reduction), penyajian data(display), dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion, verification) (Huberman, 1984). AL-QALAMJurnal Kajian Islam & Pendidikan 2 Jurnal Al-Qalam, Vol. 10 No. 2 Tahun 2018 3. HASIL DANPEMBAHASAN a. Dasar Konseptual Belajar-Pembelajaran dan Lingkungan Belajar Proses belajar pada dasarnya adalah interaksi dialogis antara pebelajar, pembelajar, pebelajar- pebelajar, pelajar dengan lingkungannya, proses interaksi yang bersifat timbal balik (Praherdhiono, 2005: 21). (Degeng, 2013: 2-4) mendefinisikan belajar sebagai upaya pengaitan pengetahuan baru pada struktur kognitif yang telah ada pada seorang siswa. Sedangkan pembelajaran sebagai upaya membelajarkan siswa. Oleh karena itu untuk memperoleh pengalaman nyata dan menghubungkan dengan dunia yang terus berkembang, pembelajaran harus menekankan perkembangan pebelajar dan belajar diarahkan ke hal yang lebih bermakna (meaningfulness). Kualitas yang lebih bermakna menurut Jonassen, (1995), (Praherdhiono, 2005: 14).meliputi; aktif, konstruktif, kolaboratif, konversasional, kontekstual dan reflektif. Dengan demikian proses pembelajaran akan bermakna tatkala diawali dengan berpikir cara peserta didik belajar dan cara guru mengajar serta mengabaikan segala sesuatu diluar itu (Brooks, 1993). Belajar dan pembelajaran diatas menegaskan suatu pengertian jika suatu proses yang melibatkan peserta didik sebagai subjek yang mengembangkan konsep-konsep dirinya untuk menemukan makna-makna baru dengan beragam cara yang dapat dilakukan oleh guru (pembelajar) pada berbagai lingkungan pembelajaran. Lebih lanjut (Degeng, 1998) mengemukakan jika unsur penting dalam lingkungan belajar adalah kebebasan. Adaptasi lingkungan belajar seiring dengan inovasi teknologi yang mendukung pedagogi makin dirasakan sangat penting. (Lanqin, 2012) mengemukakan bahwa lingkungan belajar penting menjadi perhatian pada masyarakat informasi. Penulis seperti Strauss (2000), Palfrey dan Gasser (2008), Tapscott (2009), Prensky (2010) berpendapat bahwa generasi muda generasi sekarang berperilaku berbeda dari generasi sebelumnya terutama karena mereka telah tenggelam dalam dunia yang diresmikan dengan jaringan dan digital teknologi. (Yonit, 2016) juga menunjukkan bahwa abad 21 mengharuskan desain lingkungan belajar khusus yang memudahkan perolehan keterampilan yang ingin dikembangkan sistem pendidikan diantara peserta didiknya sebagai bagian dari persiapan mereka untuk hidup secara nyata dalam lingkungan yang dinamis, cepat berubah dan tidak pasti. Sehingga penting didasarkan pada lingkungan belajar yang inovatif sebab memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi belajar siswa, selain itu lingkungan inovatif diperkuat dengan teknologi pendukung pedagogi akan turut mempengaruhi kreatifitas dan keterlibatan dalam proses belajar dan meningkatkan prestasinya. Paradigma lingkungan belajar sangat berkaitan dengan landasan inti Open Learning Environtment (OLEs) yang digagas Hannafin & Land (1999) dalam (Reigeluth, 1999: 174) yakni psikologi, pedagogis, teknologi, budaya maupun pragmatis. Pendekatan OLEs ini memiliki paradigma bahwa peserta didik memutuskan apa, dimana, kapan dan mengapa belajar, dengan demikian pembelajaran tersebut bersifat mandiri. Karakteristik lain menekankan bahwa tidak semua peserta didik memiliki kemampuan belajar yang baik dengan kata lain terdapat peserta didik berkemampuan rendah sehingga memerlukan lingkungan belajar. Dalam reformasi pendidikan selama ini paradigma lingkungan pembelajaran(learning environment) telah mengacu pada beragam lingkungan yang digunakan dalam pembelajaran baik lokasi fisik, konteks maupun budaya. Lingkungan belajar yang luas dapat meliputi; (1). Lingkungan fisik seperti ruang kelas, laboratorium, situs budaya, museum, alam lingkungan (2). Lingkungan belajar online atau virtual dan,(3). Lingkungan belajar campuran. b. Eksistensi Lingkungan Belajar Kelas Lingkungan belajar kelas dirancang dengan penciptaan iklim belajar di kelas. Merujuk pada kalimat “lingkungan belajar”, kata “lingkungan” dapat berarti tempat atau keadaan yang mempengaruhi suatu makluk hidup baik secara alamiah maupun buatan. Adapun definisi“belajar”dengan merujuk pandangan (Gagne, 1999) adalah perubahan tingkah laku yang terlihat karena dipengaruhi oleh pengalaman, latihan dan lingkungan dimana keadaan suatu individu berbeda dari sebelum belajar. Dengan demikian “lingkungan belajar” (learning environment) merupakan tempat dimana seseorang atau kelompok berinteraksi dalam proses pembelajaran yang didukung oleh iklim belajar baik secara alamiah maupun melalui desain sehingga dapat meningkatkan rasa nyaman bagi siswa, memberikan efek yang berbeda, baik pengetahuan, emosi maupunperubahantingkah laku. AL-QALAMJurnal Kajian Islam & Pendidikan 3 Jurnal Al-Qalam, Vol. 10 No. 2 Tahun 2018 Arends (1998), Wydeman, (2008) dalam (Niekerk, 2008) menggambarkan lingkungan kelas dengan menggunakan klasifikasi dimensi kelas yakni; Properti kelas, Proses kelas, dan Struktur kelas. Kelas dan komunitas belajar akan terbentuk apabila; (1). Properti Kelas yang mencakup multidimensionalitas (berbagai kemungkinan pendukung pembelajaran terlaksana secara optimal), simultanitas, immediasi, tidak dapat diprediksi, kesadaran. (2). Proses kelas, harus melibatkan harapan, kepemimpinan, antraksi, norma, komunikasi dan kohesi. dan (3). Struktur kelas menunjukkan adanya struktur tugas, struktur tujuan dan penghargaan, maupun struktur partisipasi kelas. c. (Urgensi) Manajemen Kelas dan Disiplin Kelas Manajemen kelas adalah penyediaan lingkungan pembelajaran yang efektif meliputi strategi yang digunakan guru untuk menciptakan pengalaman ruang kelas yang positif dan produktif (Slavin, 2009). Kaitan ini menurut (Brooks, 1993) persoalan pokok bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru mengajar akan mempunyai nilai penting dalam reformasi pendidikan. Mengajar dalam konteks ruang kelas merupakan aktifitas interaktif sebagai pusat ilmiah, membutuhkan intensitas dan konstruksi penataan. (Slavin, 2009) mengemukakan jika manajemen ruang kelas merupakan metode yang digunakan untuk mengorganisasikan kegiatan di ruang kelas, pengajaran, struktur fisik, waktu efektif, menciptakan pembelajaran menyenangkan dan meminimalkan masalah perilaku dan gangguan lainnya. Pandangan para ahli sebagaimana dikemukakan (Evertson M. Carolyn, 2009) jika perubahan berpikir telah terjadi dalam mengelolah kelas yang tepat, paradigma lama menekankan dan menerapkan aturan pengedalian perilaku siswa. Sedangkan paradigma baru lebih berfokus pada kebutuhan siswa untuk pengaturan diri. Trend baru dalam pengelolaan kelas menempatkan penekanan lebih pada membimbing siswa terhadap disiplin diri dan mengurangi kendali eksternal siswa. Sehingga mengelolah kelas adalah untuk mendisiplinkan belajar dan pembelajaran siswa. (Walters, Jim, 2007) membedakan manajemen kelas dengan disiplin kelas, disebabkan karena keduanya kerap digunakan secara bergantian namun memiliki tipikal yang berbeda. Manajemen kelas mengacu pada hal-hal yang biasanya dilakukan di kelas sedangkan disiplin kelas adalah manajemen prilaku siswa yang spesifik. Maka manajemen kelas sangat berkaitan dengan pengelolaan terstruktur, prosedural yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Sedangkan disiplin lebih pada manajemen pengendalian diri untuk terlibat dalam pembelajaran. (Wolfgang, 2005) menawarkan pengendalian disiplin kelas yakni dengan memahami dan menggunakan unsur-unsur manajemen kelas berupa mendesain benda-benda kelas, menyusun kelompok, berkreasi dalam mengajar, dan mengelolah lingkungan sekolah. Pentingnya manajemen kelas menurut (Seifert, 2009) didasarkan pada; (1). Berbagai hal akan berlanjut di ruang kelas siswa melaksanakan dan membutuhkan informasi, petunjuk dan dorongan. (2). Guru tidak dapat memprediksi segala apa yang terjadi di kelas. (3). Siswa membentuk opini dan persepsi tentang pembelajaran menyebabkan respon meningkat, (4). Menantang guru bekerja keras memotivasi siswa untuk belajar yang menyenangkan. Secara historis guru dianggap sebagai pengelolah kelas. Guru menyajikan pelajaran yang menarik dan tertata, mengefektifkan waktu, menyesuaikan pengajaran siswa dan mengatasi masalah kedisiplinan. Metode ini tersebut juga untuk mencegah ketidakdisiplinan pada pembelajaran berikutnya. Strategi lain juga digunakan yakni menciptakan atsmofer yang kondusif, membebaskan kegiatan yang melibatkan pikiran dan imajinasi siswa (Slavin, 2009). Pandangan diatas menegaskan jika penciptaan kelas dalam komunitas belajar adalah dengan melibatkan peran guru secara cermat dan bertanggung jawab dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan. Pelibatan anggota komunitas kelas secara terbimbing untuk mengasah kemampuan dan mengurangi problem prilakunya. Manajemen kelas dan disiplin kelas merupakan konsep utuh yang secara bersamaan diterapkan guru dimana tanpa diterapkan kedisiplinan kelas niscaya efektifitas pembelajaran akan sulit terwujud. d. Tujuan Manajemen Kelas dan Potret Budaya Sekolah Terdapat tujuan utama manajemen kelas yang efektif yaitu; 1. Membantu, mengarahkan siswa memanfaatkan dan menfokuskan waktu belajar; 2. Membantu siswa mengatasi masalah emosional dan akademiknya, (3) Mengelolah dan mengorganisasikan pembelajaran yang mendorong efektifitas AL-QALAMJurnal Kajian Islam & Pendidikan 4
no reviews yet
Please Login to review.