Authentication
158x Tipe PDF Ukuran file 0.15 MB Source: sma.pusatprestasinasional.kemdikbud.go.id
Akankah Hari Ini Aku Menjadi Bintang Jatuh? Dini hari, hanya untuk beberapa detik, aku segera menyadari hujan peluru ini bukanlah mimpi. “Bangun! Kita diserang!” teriak Pratu Adit yang bertugas berjaga bersamaku. Aku merangsak masuk ke dalam pos. Berusaha membangunkan prajurit TNI lain yang masih terlelap, tapi kelompok bersenjata itu bergerak lebih cepat. Hingga aku bisa mendengar entakkan kaki dan teriakan keras mereka. Tanda mereka makin dekat. “Mlayu1…,” ucap Pratu Adit terbata-bata. Dia tersungkur di depan pintu dengan darah mengucur dari dada. Kelompok bersenjata itu telah mengepung pos kami. Jumlah kami tidak sebanding dengan mereka. Kami terpojok. Tidak ada yang bisa kami lakukan. Aku bahkan tak sempat mengambil senjata karena lenganku tertembak. Aku menggeram kesakitan. Aku harus hidup. Aku menendang pintu belakang. Menengok sekilas, kelompok bersenjata itu dengan brutal membacok dan menghabisi empat kawanku. Mirip sekelompok serigala yang membantai mangsanya. Sambil menekan luka tembak di lengan, aku lari menyelamatkan diri, meninggalkan pos dan masuk ke hutan. Mereka terus mengejarku bersama suara tembakan yang tidak ada habisnya. Di tengah gelap, aku menerjang hujan, menerobos semak-semak, dan menginjak rumput berduri. Hingga akhirnya telingaku menangkap suara air sungai yang deras. Kupercepat langkah. Tiba-tiba kelompok bersenjata itu menembak kakiku. Ketika aku menengok ke belakang, terlihat sosok yang rasanya kukenal, wajahnya tersorot senter dan ada tompel di tengah-tengah jidatnya. Lalu aku roboh dan jatuh ke sungai. Tubuh lemahku terbawa arus. Terbentur batu bertubi-tubi. Dengan sisa tenaga, aku menggapai sebuah batu besar dan berenang menepi. Aku tergeletak menatap langit dengan napas memburu. Aku tak kuat lagi mengambil langkah bahkan untuk menopang berat bajuku yang basah. Andai saja ada ular berbisa yang menggeliat dan mematokku, aku sudah tidak bisa bergerak. Tapi aku tidak takut mati. 1 Mlayu (Jawa): lari Kami, pasukan tentara pilihan, diamanatkan menjaga keamanan di daerah rawan konflik dan menangkap kelompok teror bersenjata di Papua. Kami tentu sudah siap jika nyawa ini menjadi taruhannya. Aku melihat bintang jatuh. Cahayanya membelah langit gelap, melesat turun begitu cepat, dan menghilang. Mungkin begitulah empat kawanku yang telah gugur hari ini. Kami memang ditakdirkan seperti bintang yang setia menghiasi langit malam, meski tahu ia akan jatuh. Dan kini akulah bintang yang belum jatuh, aku tidak akan berhenti berjuang agar langit tetap indah. “Semoga kalian bahagia di sana, kawan-kawanku.” Air mataku menetes. Dadaku makin sesak kala mengingat sosok yang menembak kakiku. “Bukankah dia? Tidak, tidak mungkin! Tidak mungkin Liben.” Meski hatiku menampik. Namun, mata ini yakin kalau sosok itu Liben, teman masa kecilku. Tubuhku masih tergeletak. Aku berusaha mengalihkan rasa yang teramat sakit ini dengan memikirkan kenangan-kenangan di tanah kelahiranku, Papua. Dulu aku dengan Liben berteman baik. Saat itu kami berumur sepuluh tahun. Aku masih terbayang ketika di kampungku mengadakan tradisi bakar batu. Aku dan Liben selalu menunggu-nunggu tradisi itu. Kami akan membantu mencari kayu, sedangkan pria dewasa menggali lubang dan menyiapkan bebatuan. Batu-batu itu dibakar hingga membara, dan ditata pada lubang beralaskan rumput, di atasnya diletakkan sayur, ubi jalar, dan daging yang telah disiapkan para wanita. Setelah hampir empat jam perutku mengaung kelaparan, akhirnya makanan matang. Sewaktu aku kesulitan mengupas ubi yang panas, Liben melihatnya. Lantas ia mengupaskannya untukku. Memasak bersama, makan bersama, membuat warga merasa lebih dekat satu sama lain. Tradisi ini menyimbolkan kesederhanaan, kebersamaan, dan kedamaian. Aku benar- benar ingin mengembalikan keadaan Papua seperti itu. Kadang kala setelah tradisi itu selesai, aku dan Liben bermain perang-perangan. Aku berperan menjadi TNI dan Liben menjadi musuh. “Apakah saat besar ko 2ingin jadi TNI?” tanya Liben. 2 Ko (Papua): kamu 3 “Ya, sa ingin pakai seragam loreng dan membawa senjata.” “Kalau begitu tangkap sa! Hahaha!” canda Liben. Kami tertawa sambil berlarian. Bahkan sewaktu ibuku meninggal, Liben selalu berada di sampingku setiap hari. “Jangan ko bersedih lagi. Ada sa yang selalu menemani ko. Mari kitorang4 berjanji untuk selalu ada saat suka dan duka.” “Janji!” Kami mengaitkan jari kelingking. Namun, akulah yang pertama kali melanggar janji itu. Setelah lulus SMP, aku meninggalkannya karena harus ikut pergi ke Jawa, daerah asal ayah. Di Jawa setelah lulus SMA, aku mendaftar sekolah militer untuk menjadi prajurit TNI. Saat itu kami berdua sudah hilang kontak. Aku selalu merindukan Liben dan Papua bahkan tatkala sudah menetap di Jawa. Karena lahir di Papua, aku tahu kebiasaan dan karakter mereka. Jadi selama aku ditugaskan menjaga keamanan di sini, aku tidak kesulitan berinteraksi dengan warga setempat. Mereka suka bercanda dan tertawa, namun tahu batas candaan itu. Selain itu, mereka sangat terbuka terhadap etnis lain yang tinggal di tempat mereka. Pandanganku semakin berat dan kabur. Tapi aku sempat menangkap suara ranting- ranting terinjak yang lambat laun semakin keras. Tidak hanya satu orang, tapi puluhan orang. “Pratu Demi! Syukurlah kau masih hidup,” ucap Jendral. Di belakangnya ada prajurit TNI lainnya yang sedang mencari kelompok bersenjata di hutan yang sama. “Siap, masih,” jawabku dengan suara yang lemah lalu pandanganku sempurna gelap. * Aku tersadar di helikopter ketika dalam berjalanan menuju rumah sakit. Aku ingin menceritakan perjuangan prajurit TNI yang gugur, dan bagaimana aku bisa selamat. Namun, Jendral memotong ucapanku. “Pulihkan dulu lukamu, jangan bertugas untuk sementara,” ucap Jendral “Siap, tidak!” 3 Sa (Papua): aku 4 Kitorang (Papua): kita “Kenapa?” “Siap, luka ini bahkan tidak sebanding dengan prajurit yang telah gugur kala bertugas.” “Bagus, ketangguhan seperti itulah yang membuatmu bertahan hidup sampai saat ini.” * Satu bulan kemudian, aku kembali bertugas. Kami mengadakan rapat untuk melakukan pencarian setelah mendapat informasi bahwa kelompok bersenjata itu bersembunyi di puncak Ilaga. “Perhatikan, ini sasaran utama kita,” kata Jendral sambil menunjuk foto Liben. “Dia salah satu pimpinan di kelompok bersenjata. Jika kita berhasil melumpuhkannya, akan mudah menangkap yang lain.” “Siap, Jendral!” “Tapi kita tetap harus hati-hati. Dia juga penembak andal di kelompok bersenjata itu,” lanjut Jendral. Aku tak heran saat mendengar Liben menjadi penembak yang andal. Bakatnya telah terasah sejak kecil ketika dulu kami bermain puradan5. Lemparan tombak Liben selalu tepat sasaran ke tengah rotan. Tapi mengapa ia justru menembak kakiku waktu di hutan, padahal bisa saja ia menembakku tepat di tengah jantung. Melenyapanku dengan senapannya. Besok adalah waktunya kami mengakhiri kelompok bersenjata itu. Namun di sisi lain, seperti ada batu yang mengganjal di dadaku. Membayangkan ketika berhadapan dengan Liben, akankah aku harus berdiri sebagai prajurit TNI, atau sebagai seorang teman yang sedang rindu. Haruskah aku menembaknya atau menanyakan kabar. Setelah rapat, kami makan malam. Kemudian Jendral keluar terlebih dahulu dan duduk sendirian di tangga depan pintu. Aku menghampirinya. “Selamat malam, Jendral!” “Malam. Duduklah.” 5 Puradan: permainan dari Papua yang dilakukan dengan melempar kayu atau tombak ke arah sasaran berupa lingkaran rotan yang dilempar ke permukaan tanah dan melaju dengan cepat.
no reviews yet
Please Login to review.