Authentication
243x Tipe PDF Ukuran file 0.39 MB Source: manissuryanti.blogs.uny.ac.id
IMPLEMENTASI LANDASAN PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN PENDIDIKAN BERKUALITAS DI SD NEGERI GEDONGKIWO Manis Suryanti, Dwi Rahmad Julianto, Eva Nur Hanifah, Nadiyatul Khusna, Mifta Nurul Afiffah, Latifah Herda Yuliana Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail: manissuryanti.2017@student.uny.ac.id, dwirahmad.2017@student.uny.ac.id, eva5278fip.2017@student.uny.ac.id, nadiyatulkhusna.2017@student.uny.ac.id, miftanurul.2017@student.uny.ac.id, latifahherda.2017@student.uny.ac.id Abstrak Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembaca tentang landasan- landasan pendidikan yang diterapkan di SD Negeri Gedongkiwo. Landasan-landasan pendidikan yang diamati di SD Negeri Gedongkiwo yakni landasan filosofis, landasan teoritis, landasan pedagogis, landasan psikologis, landasan sosiokultural, dan landasan yuridis. Aspek lain yang juga diamati selama proses pembelajaran berlangsung yakni standar proses, penerapan education for sustainable development, penerapan pendidikan karakter dan penerapan pendidikan literasi. Selain itu juga mewawancarai guru mengenai kompetensi guru dan cara perekrutan guru di SD Negeri Gedongkiwo. Mitra kerja dalam pengumpulan ini yakni SD Negeri Gedongkiwo khususnya pada kelas 3 dan kelas 6. Kelas 3 menjadi sampel kelas bawah, sementara kelas 6 menjadi sampel kelas atas. Pengumpulan data dilakukan melalui proses observasi selama empat kali observasi yang meliputi observasi kelas dan observasi lingkungan sekolah. Selain itu juga dilakukan wawancara kepada Kepala Sekolah SD Negeri Gedongkiwo berkaitan dengan kegiatan ekstra kurikuler yang diterapkan di sekolah tersebut serta berkenaan dengan kompetensi guru beserta cara perekrutannya. Secara keseluruhan, landasan-landasan pendidikan yang diterapkan di SD Negeri Gedongkiwo sudah baik, meskipun masih ada beberapa aspek yang belum sempurna dan memerlukan evaluasi khusus. Kata Kunci: landasan, pendidikan, SD, Gedongkiwo Abstract This article aims to provide information to readers about the educational foundations applied at Gedongkiwo Public Elementary School. The educational foundations in Gedongkiwo Public Elementary School are philosophical foundation, theoretical foundation, pedagogical foundation, psychological foundation, socio-cultural foundation, and juridical foundation. Other aspects that were also observed during the learning process were the standard process, the implementation of education for sustainable development, the application of character education and the application of literacy education. Besides that, he also interviewed teachers about teacher competencies and how to recruit teachers at Gedongkiwo Public Elementary School. The partners in this collection were Gedongkiwo Public Elementary School, especially in grade 3 and grade 6. Class 3 became the lower class sample, while class 6 became the upper class sample. Data collection was carried out through the observation process for four observations which included classroom observation and observation of the school environment. Besides that, an interview with the Principal of Gedongkiwo Elementary School was also conducted in connection with the extra-curricular activities applied at the school and with regard to teacher competency and how to recruit them. Overall, the educational foundations applied at Gedongkiwo Public Elementary School are already good, although there are still some imperfect aspects and require special evaluation. Keywords: foundation, education, elementary school, Gedongkiwo PENDAHULUAN SD Negeri Gedongkiwo merupakan Sekolah Dasar Negeri yang terletak di Yogyakarta. Pembelajaran yang dilaksanakan di SD Negeri Gedongkiwo telah memenuhi standar pelaksanaan pendidikan berdasarkan landasan-landasan pendidikan yang berlaku di Sekolah Dasar. Sayangnya, ada beberapa landasan yang justru terjadi sebaliknya atau sudah diterapkan tetapi belum maksimal. Pembelajaran di SD Negeri Gedongkiwo khususnya di kelas 3 masih terkesan teacher center dengan guru sebagai pusat pembelajaran dan siswa berperan sebagai pendengar dan pengamat. Selain itu guru memiliki sikap yang tidak baik terhadap siswa. Guru sering mencubit siswa dan bermuka masam kepada siswa. Hal ini menjadi sesuatu yang membuat siswa merasa tegang di kelas.Terbukti dengan ketika guru keluar kelas, siswa berhamburan seolah-olah bebas dari kekangan. Ketika pembelajaran, siswa tidak diarahkan untuk berkolaborasi dengan siswa yang lain dan tidak ada kegiatan diskusi. Selain itu, guru juga belum menghadirkan media baik berupa benda konkret maupun semi-konkret. Siswa hanya diajak untuk membayangkan suatu kejadian sehingga menimbulkan kebingungan. Pendidikan tidak hanya tentang menerima ilmu, tetapi juga mencari dan berbagi. Peserta didik tidak bisa hanya diam mendengarkan penjelasan guru tanpa melakukan suatu aktivitas. Pendidikan dirancang untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan sebab ilmu adalah warisan yang tidak akan habis. Hal ini sesuai dengan pendapat Tagore (dalam Marzuki, 2016) yang menyatakan bahwa pendidikan yang ideal yakni pendidikan yang melibatkan pasrtisipasi aktif peserta didik dan yang bertujuan bukan hanya untuk memperoleh pekerjaan tetapi untuk melakukan pembangunan. Pendidikan bukan sebuah narasi kosong yang hanya mengisi otak manusia, tetapi pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang holistik. Pendidikan yang holistik adalah pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan akal tetapi juga budi pekerti dan keterampilan gerak. Ki Hajar Dewantara (dalam Marzuki, 2016) menyatakan bahwa pendidikan hendaknya mampu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan serta kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Secara singkat pendidikan merupakan upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual), dan jasmani peserta didik. Sebagai catatan, pendidikan yang ideal tidak dapat dicapai melalui paksaan. Pendidikan ideal dapat dilihat melalui aspek-aspek yang mendasari pendidikan. Aspek-aspek yang mendasari pelaksanaan pendidikan disebut landasan pendidikan. Landasan pendidikan sekolah dasar meliputi landasan filosofis, landasan teoritis, landasan yuridis dan kebijakan, landasan psikologi dan karakteristik siswa, landasan pedagogis, education for sustainable development, pendidikan literasi, pendidikan karakter, dan kompetensi dan rekruitmen guru (Mustadi, Fauzani, & Rochmah, 2018). Landasan filosofis pendidikan membahas tentang hakekat pendidikan dan apa yang hendak dicapai melalui pendidikan. Landasan filosofis pendidikan memberikan rasionalisasi tentang mengapa pendidikan harus dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pengertian filsafat pendidikan menurut Pidarta dalam Abdul Kadir dalam Mustadi, et al’ (2018: 11) bahwa filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai ke akar- akarnya mengenai pendidikan. Sementara landasan pedagogis adalah cara-cara yang digunakan guru untuk mengndisikan peserta didiknya. Termasuk menerapkan strategi, metode, dan teknik pembelajaran, menerapkan sistem pembelajaran bermakna, menggunakan pendekatan student center, dan lain-lain. Landasan teoritis pendidikan membahas tentang teori-teori pelaksanaan pendidikan. Teori-teori belajar menurut ahli antara lain teori pekmbangan kognitif jean piaget, teori konstruktivistik, teori behavioristik, teori kognitif, teori belajar Vygotsky yang meliputi ZPD (Zone of Proximal Development) dan Scafolding, teori belajar van hiele, teori belajar ausubel, dan teori belajar bruner. Teori-teori tersebut dapat dijadikan acuan bagaimana proses belajar mengajar dalam pendidikan dilaksanakan. Landasan teoritis pendidikan merupakan suatu dasar atau pedoman teori yang dijadikan titik tolak dalam menjalankan dan mengembangkan praktik pendidikan (Mustadi, et al’2018: 24). Teori jean piaget menyatakan bahwa anak usia 7-11 tahun berada dalam masa operasional konkret dimana pada pelaksanaan pembelajaran, siswa perlu untuk difasilitasi dengan benda konkret. Teori konstrukivistik menyatakan bahwa pengetahuan selama pembelajaran, idealnya siswa membangun sendiri pengetahuannya dengan fasilitas guru. Teori behavioristik menyatakan bahwa belajar merupakan proses pembiasaan. Pembiasaan ini harus dibantu dengan adanya teladan. Teori kognitif menyatakan bahwa belajar merupakan aktivitas yang sangat kompleks, ZPD yaitu kondisi dimana anak mampu melampaui batas belajar yang biasanya dengan bantuan teman. Sementara scaffolding adalah pembiasaan bagi siswa untuk mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Teori belajar Van Hiele biasanya digunakan dalam materi geometri. Teori belajar ausubel menyatakan bahwa pengetahuan akan lebih setia jika melalui proses pembelajaran yang bermakna daripada melalui pembelajaran hafalan. Teori belajar bruner menyatakan tahapan perkembangan anak meliputi Enaktif (0-3 tahun), Ikonik (3-8 tahun), dan Simbolik (>8 tahun). Landasan yuridis pendidikan yaitu paying hukum yang memayungi pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Landasan yuridis pendidikan di Indonesia misalnya Pancasila, UUD pada pasal 31, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) dan peraturan perundang-undangan lain yang mendukung. Mustadi, et al’(2018: 51) juga mengungkapkan bahwa landasan yuridis pendidikan merupakan dasar tumpuan secara hukum yang dipandang sebagai aturan baku dan berfungsi sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendidikan. Langkah pertama yang harus dilakukan ketika menjadi guru adalah merebut hati siswa. Dengan demikian, maka pembelajaran akan mudah tersampaikan karena secara psikologis anak merasa nyaman. Mustahil guru bisa mengajar dan siswa bisa paham jika gur tidak mempunyai rang di hati siswanya. Landasan psikologi adalah bahwa pendidikan harus disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik. Implikasinya pendidikan buakan suatu hal yang dapat berlaku pukul rata. Hal-hal yang perlu diperhatikan guru ketika mengajar adalah bahwa anak dalam tahapan operasional konkret, bahwa setiap anak itu unik, memiliki karakteristik dan setiap mereka juara bagi keunikannya masing-masing. Sehingga perlu takaran perhatian dari guru yang seimbang. Guru dalam mengajar juga harus dinamis dan tidak membatasi kemampuan anak pada bidang-bidang yang lain. Perlu ditekankan bahwa tidak ada anak yang malas, yang ada hanya anak yang salah asuh. Pedagogis yakni seni untuk membelajarkan. Atau dengan definisi lain, landasan pedagogis berarti cara guru untuk mengelola siswa dan kelas sehingga pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Sistem pembelajaran hafalan harus digati menjadi sistem pembelajaran bermakna. Belajar yang bermakna lebih menekankan pada proses. Siswa diajak untuk terlibat langsung dalam pembelajaran atau active learning. Dalam pembelajaran ini siswa sibuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan stimulus dari guru. Menurut Ausubel dalam Rahmah (2013: 44) belajar bermakna adalah belajar menemukan konsep bukan menerima konsep. Misalnya, ketika belajar tentang sistem perakaran tumbuhan, guru menghadirkan tumbuhan dengan berbagai jenis akar di dalam kelas, atau mengajak siswa untuk menemui sendiri tumbuhan dengan berbagai jenis akar tersebut diluar kelas. Artinya, dalam pembelajaran yang bermakna terjadi perbahan dari teacher center menjadi student center. Dalam pembelajaran bermakna, tugas guru adalah untuk membelajarkan, bukan untuk mengajar. Guru bukan agen yang mentransfer pengetahuan, sementara siswa juga bukan gelas kosong yang mau diisi apa saja yang diinginkan guru. Dalam teori konstruktivistik, (Ummi,
no reviews yet
Please Login to review.