Authentication
144x Tipe PDF Ukuran file 0.63 MB Source: eprints.umpo.ac.id
BAB 1 PENGANTAR FILSAFAT A. Mengapa Filsafat Rene Decartes bilang, bahwa aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Karena itu, penanda penting manusia hakikatnya adalah kemampuan berpikir itu sendiri. Untuk inilah, jika Anda ingin dianggap manusia hendaklah berpikir. Masalahnya, adakah orang yang tidak berpikir? Hakikat manusia memang sebagai manusia individu, tetapi keberadaannya juga terentang oleh kodrat yang lain, yakni sebagai makhluk sosial (masyarakat). Pertanyaan-pertanyaan filsafat tentang hakikatnya maka akan menyodorkan renungan tentang (i) siapakah aku, (ii) darimanakah aku, (iii) untuk apakah aku diciptakan, (iv) mengapa aku diciptakan, (v) untuk apa diciptakan, (vi) bagaimanakah aku diciptakan, dan seterusnya. Terkait dengan eksistensinya dirinya, manusia dihantui oleh hakikat pertanyaan tentang dirinya. Hal ini terjadi sepanjang hayat dan tidak pernah henti. Katakanlah, pertanyaan siapakah aku akan terus bertapak pada puluhan pertanyaan filosofis yang mendorong untuk mendorong penemuan dirinya. 1 Filsafat Ilmu Pertanyaan itu “siapa” ini tentunya bersifat ontologis, yang akan menggiring pada sejumlah hakikat pertanyaan lanjutan (i) apakah aku, (ii) termasuk jenis makhluk apakah aku, (iii) apa bedanya aku jika dibandingkan dengan makhluk yang lain, (iv) tersusun dari apakah aku, (v) apakah aku bisa berubah, dan seterusnya. Selanjutnya, pertanyaan “bagaimana”, tentunya bersifat epistemologis, yang akan menggiring pada sejumlah hakikat pertanyaan lanjutan (i) bagaimanakah aku hadir ke dunia, (ii) bagaimana aku diciptakan, (iii) bagaimana aku tumbuh dan berkembang, (iv) bagaimana aku menjadi berbeda dengan makhluk yang lain, (v) bagaimana aku berpikir, (vi) bagaimana aku memanfaatkan hidup untuk kehidupan, (vii) bagaimana aku menjalani hidup, (viii) bagaimana akhir hidup di dunia, dan seterusnya. Sedangkan, pertanyaan “mengapa”, tentunya bersifat axiologis, yang akan menggiring pada sejumlah hakikat pertanyaan macam (i) mengapa aku hadir ke dunia, (ii) mengapa aku diciptakan, (iii) mengapa manusia itu tumbuh dan berkembang, (iv) mengapa manusia berbeda dengan makhluk yang lain, (v) mengapa manusia harus berpikir, (vi) mengapa manusia perlu memanfaatkan hidup, (vii) mengapa dan untuk apa manusia menjalani hidup, (viii) mengapa manusia harus berakhir dalam hidup, (ix) mengapa manusia harus bermanfaat bagi kehidupan, (x) mengapa manusia harus bermanfaat bagi manusia yang lainnya, dan seterusnya. Dengan demikian, kehadiran manusia di dunia tentunya bukan tanpa skenario keIlahian. Untuk itu, bagaimana dan untuk apa manusia hidup tentunya menarik untuk direfleksikan dalam segala makna kehidupan itu sendiri. Baik dalam konteks sosial, ilmu pengetahuan, agama, ekonomi, politik, sosial keamanan, ideologi, dan sebagainya. Manusia memang terentang ke dalam banyak konteks ini karena secara ontologis dan epistemologis manusia merupakan bagian dan proses dari bidang-bidang itu semua. 2 Happy Susanto 1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan Sebagai makhluk Tuhan, manusia penting menyadari tentang hakikat kejadian. Kejadian yang bersifat misterius. Secara jasmani ia lahir dari orang tua tetapi kepemilikannya secara hakiki adalah milik Tuhan. Di sinilah, maka keperantaraan manusia hakikatnya merupakah hakikat keberadaan yang tidak berada. Ada yang bilang, bahwa manusia itu seperti buku yang tanpa pendahuluan dan penutup. Wah, jika demikian maka sesungguhnya pertanyaan itu dapat dikejar dengan memulangkan keperantaraan manusia yang bernama “ayah” dan “ibu” dalam konteks persalinan hidup dan kehidupan manusia. Sebagai makhluk Tuhan, manusia bersifat otonom. Artinya, secara individual ia adalah merdeka, kodrat kehadirannya. Tetapi kemerdekaan itu ia tergantung pada kekuatan yang tidak terhingga bernama Tuhan. Dengan begitu, ia bersifat tergantung. Tergantung apa? Kekuasaan Tuhan, karena itu, bersifat relijius dalam gerak dan laku kehidupannya, baik secara sosial maupun individual. Dengan kata lain, manusia terentang antara doa dan puji Tuhan, terkungkung oleh Kekuatan Besar yang tidak terhalang. Karena itu, keotonomian diri bernama manusia terbatas pada kuasa yang maha Besar ini. Untuk mencari jalan kehidupannya, maka ia (i) perlu memenuhi kebutuhan jasmaninya, makan dan minum, (ii) memenuhi kebutuhan rohaninya dengan berbagai kegiatan kejiwaan yang menumbuhkan, (iii) menengadahkan tangan dan kreatif menemukan dan mencari dirinya ke altar kebermaknaan, dan (iv) menuliskan skenario kehidupan sesuai kodrat otonom dengan puji doa dan kreativitasnya. Dalam keotonomian inilah, maka manusia sampai pada kreativitas tertinggi dengan berbagai kreasi keilmuan yang menuntun pada kebermaknaan hidup. Hidup manusia menjadi berbeda dengan makhluk yang lainnya. Temuan-temuan keilmuan memudahkan dan menyejahterakan. Tetapi, pada konteks lain temuan dan hasil pengetahuan manusia menimbulkan persoalan baru. Inilah, maka 3 Filsafat Ilmu pentingnya penyadaran kembali pada kodrat axiologis manusia sehingga tidak tercerabut dari akar kemanusiaan yang tidak berarti dan tergantung pada kekuatan besar Tuhan. Antara onotomi dan ketergantungan ini, manusia sesungguhnya terbentang dalam padang kontradiksi besar yang harus dipecahkan. Secara otonom sebenarnya manusia adalah kemerdekaan, kebebasan, dan keliaran lain untuk menentukan siapa, bagaimana, dan makna dirinya; tetapi pada sisi lain ia harus tunduk pada kaidah Alam. Inilah roh ketergantungan itu, yang harus ditemukan oleh setiap manusia. 2. Manusia sebagai Makhluk Sosial Kodrat kehadiran manusia yang tidak sendiri melahirkan hakikat manusia dalam konteks sosial kemasyarakatan. Artinya, manusia ada dalam keterikatan manusia yang lainnya. Untuk apa jika hidup hanya sendiri? Darimanakah diketahui beda antara satu dengan yang lain jika tidak ada lainnya? Bagaimanakah menemukan kemanfaatan jika temuan manusia tidak teruji oleh manusia yang lainnya? Dengan demikian, manusia itu ada karena ada manusia yang lain. Bayangkanlah, Anda berada di ruang kuliah tanpa dosen. Kemudian kemukakan pertanyaan ini pada diri Anda (i) untuk apa Anda di ruang kuliah, (ii) mengapa Anda di ruang kuliah, (iii) bagaimana Anda di ruang kuliah, (iv) bagaimana jika dosen tidak ada, akankah Anda tetap di ruang kuliah, (v) meskipun dosen hadir tetapi jika Anda tidak ada di ruang kuliah akankah dosen Anda tetap di ruang kuliah, (vi) jika dosen Anda berbicara tetapi Anda tidak mendengarkan apa yang terjadi, dan seterusnya. Begitulah, sedikit kodrat sosial manusia yang tergantung pada orang lain. Pada awalnya memang kelahiran manusia bersifat individu, tetapi dalam persalinan itu bukankah ia tergantung (terikat) oleh orang lain (bidan, dokter, dan orang tua)? Persalinan memang individu, tetapi kehadirannya pun ternyata juga bersifat sosial. Dengan begitu, dapat dikatakan kita merupakan individu yang 4
no reviews yet
Please Login to review.