Authentication
232x Tipe PDF Ukuran file 0.37 MB Source: repository.uksw.edu
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Peran Kelembagaan Pertanian Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usaha tani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani itu sendiri. Peran kelembagaan pertanian bagi petani antara lain: (a) menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh petani (sarana produksi), (b) meningkatkan posisi tawar menawar petani dalam kegiatan ekonomi, sehingga dapat mengurangi kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh petani (Anonim, 2012c). Adapun peran kelembagaan pertanian secara spesifik dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Sebagai wadah petani untuk mengemukakan pendapat, keinginan, masalah- masalah yang dihadapi dalam pengembangan agribisnis (Rusmono, 2012). 2) Memenuhi pemasaran produk pertanian, dan termasuk menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan petani (Syahyuti, 2011). 3) Saluran pemasaran yang mempunyai kegiatan untuk menyalurkan atau penyampaian barang-barang atau jasa-jasa dari produsen ke konsumen (Setyowati, 2008). 4) Menghasilkan teknologi pertanian dalam upaya memecahkan masalah- masalah petani dan pengguna lainnya (Adnyana, 1999). 5) Menganalisis situasi-situasi yang sedang dihadapi oleh petani dan melakukan perkiraan ke depan, menemukan masalah, memperoleh pengetahuan atau informasi guna memecahkan masalah, mengambil keputusan dan petani menghitung besarnya risiko atas keputusan yang diambilnya (Erna, 2011). 6) Menunjang pertanian terutama yang berhubungan dengan benih, pupuk, pestisida dan permodalan (Sisfahyuni, 2008). 7) Menghimpun dana secara langsung dari masyarakat atau petani dan fungsi pembiayaan di Indonesia meliputi bank pemerintahan, bank swasta maupun lembaga keuangan non bank (Batubara, 2007). 8) Membantu menekan hilangnya hasil panen, peningkatan nilai produk dan memperlancar hasil pertanian dari petani kemudian pemasaran yaitu suatu 4 5 proses distribusi dari petani hingga produsen tingkat pasar bahkan sampai ke tangan konsumen (Lesmana, 2009). Perkembangan saat ini memperlihatkan banyaknya asosiasi maupun paguyuban petani tumbuh dan berkembang secara mandiri. Meskipun pendekatan kelembagaan telah menjadi komponen pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, namun kelembagaan petani cenderung hanya diposisikan sebagai alat untuk mengimplementasikan proyek belaka, belum sebagai upaya untuk pemberdayaan yang lebih mendasar. Kelembagaan ke depannya, diharapkan dapat berperan sebagai aset komunitas masyarakat desa yang partisipatif. Pengembangan kelembagaan mestilah dirancang sebagai upaya untuk peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri sehingga menjadi mandiri (Syahyuti, 2011). 2.1.2. Kelembagaan Pertanian Lembaga adalah berisi norma, nilai, regulasi, pengetahuan, dan lainnya. Menjadi pedoman dalam berperilaku aktor (individu atau organisasi). Kelembagaan adalah hal-hal yang berkenaan atau berhubungan dengan lembaga (Syahyuti, 2011). Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertanian dibagi 3 bagian yaitu: a) Kelembagaan petani adalah merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan berupa kelompok tani, gabungan kelompok tani dan koperasi (Suradisastra, 2008). b) Kelembagaan pemerintah pertanian adalah yang dimiliki oleh negara baik di tingkat nasional, kabupaten atau kota, kecamatan dan desa atau kelurahan berbentuk kelembagaan penyuluhan, pelatihan, penelitian dan permodalan. c) Kelembagaan swasta pertanian adalah sebuah perusahaan bisnis yang dimiliki oleh organisasi non-pemerintahan. Kegiatan yang dilakukan untuk membantu petani dalam usaha tani sayuran organik meliputi pengadaan sarana produksi, pemasaran (Anonim, 2011d). 6 2.1.3. Potensi Pengembangan Usaha Tani Sayuran Organik Melalui Kelompok Tani Tranggulasi. Potensi pengembangan usaha tani sayuran organik dapat dilihat dengan mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi strategi pengembangan usaha tani sayuran organik. Untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal tersebut digunakan analsis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi dalam kelompok tani. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Pada awalnya analisis SWOT ini digunakan untuk menganalisis beberapa perusahaan dalam kawasan industri. Namun dalam perkembanganya analisis SWOT ini juga banyak digunakan untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal pada lingkup industri. Dalam perkembangan lainya analisis SWOT ini juga mulai banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam sektor agribisnis. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan kelompok tani. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor- faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi saat ini. Analisis faktor eksternal difokuskan pada kondisi yang ada dalam pengembangan usaha tani sayuran organik dan kecenderung yang muncul dari luar, tetapi memberi pengaruh kinerja organisasi. Analisis faktor internal adalah penilaian prestasi atau kinerja yang merupakan faktor kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan usaha tani sayuran organik untuk mencapai tujuan organisasi (Rangkuti, 2005). Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan usaha tani sayuran organik melalui kelompok tani perlu dilakukan penguatan kelompok tani, melalui langkah-langkah operasional sebagai berikut (Purwanto, 2006). a. Membangun keanggotaan kelompok yang aktif 1. Memahami konsep kelompok swadaya yaitu kelompok yang mengetahui konsep yang digunakan dalam membantu kelompok dan anggota secara sukarela. 2. Menetapkan tujuan kelompok yaitu strategi yang akan digunakan dalam kelompok untuk kegiatan yang dijalankan. 7 3. Memilih dan menetapkan pengurus kelompok yaitu menetapkan ketua yang bisa membawa kelompok tani semakin baik lagi yang dipilih oleh anggota. 4. Mengembangkan aturan kelompok yaitu aturan-aturan yang dibuat dalam kelompok yang terstruktur untuk menangani pelanggaran yang dilakukan. 5. Merancang pertemuan kelompok yaitu menyusun strategi dalam menentukan waktu bertemu antara anggota dan pengurus kelompok untuk membahas hal yang berhubungan dalam usaha tani. b. Membangun dana bersama yaitu bimbingan menabung untuk arahan yang baik diberikan kepada petani bahwa tabungan kelompok adalah sesuatu yang sangat penting sebagai langkah awal menuju kemandirian. Bimbingan tertib administrasi (pencatatan) arahan yang baik diberikan kepada kelompok tani untuk mencatat dana keluar dalam setiap kegiatan yang diperoleh dari petani sendiri ataupun dana yang diperoleh dari luar (Syahyuti, 2011). c. Membangun usaha yang menguntungkan dengan bimbingan penyusunan rencana usaha memberikan arahan untuk usaha yang akan dilakukan dalam memenuhi kebutuhan kelompok tani. Mengenal sumber modal yaitu mengetahui sumber modal dalam usaha yang akan dijalankan seperti koperasi, bank dan lain-lain. Pengelolaan dana bersama yaitu dana yang dimiliki setiap anggota kelompok dikumpulkan ke pengurus kelompok untuk digunakan dalam usaha yang dilakukan bersama. d. Membangun hubungan kerjasama antar lintas usaha. Kelompok yang sudah berkembang usahanya difasilitasi untuk belajar bekerjasama dengan kelompok lainya dalam mengembangkan usaha pada kegiatan masing-masing. Untuk memperoleh jaringan pasar yang lebih luas, memperoleh informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan, membuka jaringan lintas usaha, kelompok difasilitasi untuk dapat berinteraksi dengan lembaga atau instansi lain. e. Membangun kemampuan menilai diri sendiri. Dalam perkembanganya, kelompok didampingi agar suatu saat mampu menilai kemajuanya sendiri secara teratur. Dengan demikian, kelompok akan dapat mengetahui kelemahan dan kekuranganya sebagai bahan untuk rencana perbaikan (Purwanto, 2006).
no reviews yet
Please Login to review.