Authentication
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berusaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur seiring dengan cita-cita berdirinya negara Republik Indonesia dari masa sebelum dan sesudah berlakunya UUPA. Oleh karena itu, hal ini memerlukan peran aktif semua lapisan masyarakat dalam semua bidang kehidupan, seperti ekonomi, sosial budaya, politik dan hukum. Seiring dengan berjalannya waktu dari tahun ke tahun, tuntutan pemenuhan kebutuhan untuk kepentingan umum dirasa semakin meningkat. Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kemakmuran menjadi faktor utama untuk diadakannya peningkatan atau perbaikan fasilitas-fasilitas umum baik secara kualitas maupun kuantitas. Fasilitas-fasilitas umum yang dimaksud antara lain seperti jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya. Pembangunan berbagai fasilitas umum tersebut tentunya memerlukan tanah sebagai tempat fasilitas-fasilitas umum itu didirikan. Dalam hal persediaan tanah masih luas, proses pembangunan fasilitas umum tidak akan ada masalah. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika banyak tanah yang sudah dilekati hak secara pribadi (hak atas tanah), sedangkan persediaan tanah pemerintah juga semakin terbatas. Hal tersebut dapat terjadi karena tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas. Pengadaan tanah atas nama pembangunan tampaknya menjadi salah satu masalah krusial di Indonesia. Ia seperti penyakit kronis dalam kata pembangunan itu sendiri. Atas nama negara, Pemerintah merasa punya hak mengambil tanah milik penduduk terlepas apakah pemilik setuju atau tidak. Penduduk acap kali komplain kompensasi yang ditawarkan Pemerintah terlalu kecil, sehingga mereka enggan untuk melepas hak milik (http://beta.hukumonline.com/quart/berita/baca/hol20760/relasi--negara-dan- rakyat-dalam-pengadaan-tanah). 2 Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk kepentingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie (Staatsblad 1920 nomor 574). Dalam pembebasan tanah, hak-hak keperdataan pemilik tanah yang terdiri dari hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, tetap dilindungi (http://hukumonline.com/klinik/detail/cl459). Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 18, memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Adanya berbagai peraturan yang mengatur tentang kebijaksanaan yang digariskan oleh pemerintah yaitu dalam rangka penyediaan tanah yang rnenyangkut kepentingan dan kehidupan rakyat harus dilakukan secara musyawarah, namun kadangkala masih timbul permasalahan yang dirasakan tidak adil dan kurang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap rakyat yang tanahnya terkena pembebasan. Dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 55 Tahun 1993, tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, dapat dipandang sebagai salah satu pembaharuan hukum (Law Reform) ke arah sistem hukum pertanahan yang lebih baik dan dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan. Di dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993, ada beberapa prinsip pokok dan mendasar yang menjadi pembaharuan hukum dalam pengadaan tanah diantaranya: kelembagaan, susbtansinya, pengertian kepentingan umum, ruang lingkup kegiatannya, tata cara melakukan musyawarah dan penentuan bentuk dan besamya ganti kerugian. Akan tetapi Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dirasa kurang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat yang memiliki hak atas tanah yang tanahnya terkena pengadaan tanah 3 sehingga Keppres Nomor 55 Tahun 1993 diganti dengan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian direvisi dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, menjelaskan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Proses untuk mendapatkan tanah yang akan digunakan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilakukan salah satunya untuk pembangunan jalan tol. Pembangunan infrastruktur di Indonesia tergolong sangat lamban bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Salah satu contoh kasat mata adalah pembangunan jalan tol. Panjang jalan tol di Indonesia saat ini hanya mencapai 741 kilometer, padahal Indonesia sudah mulai membangun jalan tol 33 tahun silam (1978), yakni dengan beroperasinya jalan tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta, Bogor dan Ciawi. Bahkan sejak akhir 2004, panjang ja- lan tol hanya bertambah sekitar 134 km. Negara-negara tetangga yang memulai pembangunan jalan tol beberapa tahun kemudian malah kini memiliki jalan tol yang jauh lebih panjang. Masalah umum yang menghambat pembangunan berba- gai proyek infrastruktur, termasuk jalan tol, adalah terkait pembebasan lahan. Terkadang dana sudah tersedia, namun pembangunan tidak dilakukan karena terbentur pembebasan lahan yang tak kunjung usai (http://www.indonesiafinancetoday.com/read/4722/RUU-Pengadaan-Lahan-dan- Jalan-Tol). 4 Agenda pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol Solo-Mantingan II yang melewati Kabupaten Sragen belum terlaksana secara penuh. Pembangunan Jalan Tol di Kabupaten Sragen yang ditargetkan selesai pada akhir tahun 2009 ternyata molor. Hal tersebut dikarenakan sulitnya mencapai kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemilik hak atas tanah dalam hal pelaksanaan musyawarah untuk menentukan bentuk dan besarnya ganti kerugian. Akan tetapi untuk wilayah Desa Pilangsari Kecamatan Ngrampal pada tahun 2011 ini proses pengadaan tanah sudah sekitar 94% terselesaikan karena dari 47 bidang tanah yang terkena pengadaan tanah, hanya 3 bidang tanah yang pemiliknya belum mendapat pembayaran ganti rugi. Dengan kata lain sudah ada kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian antara pihak yang memerlukan tanah dengan semua pemilik hak atas tanah yang tanahnya terkena pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol. Atas dasar uraian di atas, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai tahapan pelaksanaan pembangunan Jalan Tol di Desa Pilangsari Kecamatan Ngrampal Kabupaten Sragen, serta mengenai kesepakatan ganti rugi antara para pihak yang terkait sebagai bentuk perlindungan hukum bagi pemilik hak atas tanah yang terkena pengadaan tanah, maka penulis mengajukan penulisan hukum dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK ATAS TANAH YANG TERKENA PENGADAAN TANAH DALAM PEMBANGUNAN JALAN TOL SOLO-MANTINGAN II DI DESA PILANGSARI KECAMATAN NGRAMPAL KABUPATEN SRAGEN”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut lebih lanjut dengan menitik beratkan pada rumusan masalah: 1. Apakah proses pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Jalan Tol di Desa Pilangsari Kecamatan Ngrampal Kabupaten
no reviews yet
Please Login to review.