Authentication
312x Tipe DOC Ukuran file 0.06 MB
PESTISIDA DALAM SAYURAN Oleh: Si Nugrohati dan Kasumbogo Untung Proceedings Seminar Kemanan Pangan dalam Pengolahan dan Penyajian, PAU Panga dan Gizi, UGM, 1 – 3 September 1986. Pendahuluan Sayuran dalam kehidupan manusia sangat berperanan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkaan gizi, karena sayuran merupakan salah satu sumber mineral dan vitamin yang dibutuhkan manusia. Konsumsi sayuran oleh masyarakat saat ini masih dibawah kebutuhan gizi yang seharusnya. Menurut Wardoyo (1981) pada tahun 1978 konsumsi sayuran oleh rakyat Indonesia masih sekitar 61 % dari kebutuhan yang seharusnya. Pada tahun 1978 telah ditetapkan bahwa untuk memenuhi gizi rata-rata orang Indonesia memerlukan 65,7 kg sayuran dalam satu tahun. Konsumsi sayuran yang masih rendah tersebut disebabkan banyak hal antara lain tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang masih rendah dan produktvitas sayuran yang rendah. Faktor-faktor pembatas produktivitas yang penting adalah adanya serangan berbagai jeis hama tanaman dan masalah penanganan pasca panen yang dapat menurunkan kuantias dan kualitas sayuran. Salah atu usaha agar produktivitas sayuran dapat ditingkatkan diperlukan tindakan pengendalian hama dan penanganan pasca panen yang efektif dan efisien. Metode pengendalian hama yang dipergunakan oleh petani sayuran saat ini adalah perlakuan dengan pestisida organik sintetik. Penggunaan pestisida secara kuanitaif dan kualitatif selalu meningkat sejalan dengan peningkatan intensitas sayuran, sehingga dapat dikatakan bahwa pestisida tidak dapat dilepaskan dari budidaya jenis- jenis sayuran tertenu seperti pada tanaman kubis, wortel, lombok, bawang putih dan bawang merah, kentang seta tomat. Oleh karena penggunaan pestisida yang intensif di lapangan, residu pestisida dalam sayuran, terutama sayuran yang biasa dikonsumsi dalam bentuk bahan mentah, merupakan masalah sayuran yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan kualitas dan keamanan sayuran terhadap kesehatan masyarakat. Untuk meneliti permasalahan tersebut perlu dilakukan analisis sejak dari perlakuan pestisida di lapangan sampai pada cara pengolahan sayuran. Pengendalia Hama Sayuran Telah lama diketahui bahwa berbagai jenis sayuran sangat digemari oleh beraneka ragam jenis hama tanaman. Tanaman kubis selalu diancam oleh ulat penggerek daun Plutella xylstella L. Dan Crocidolomia binotalis Sell, tanaman kentang oleh penggerek umbi Pthorimaea operculela Z. Dan kutu daun Myzus persicae, tanaman lombok oleh thrips daun dan lalat buah, tanaman bawang putih oleh ulat grayak, tanaman tomat oleh penggerek daun dan buah Heliothis armigera, dan lain-lainnya. Tanpa diadakan usaha pengendalian hama budidaya tanaman sayuran menjadi tidak produktif, bahkan dapat gagal. Menurut data penelitian di Indonesia kehilangan hasil sayuran akibat serangan hama dapat mencapai 50 – 100 % apabila tidak diadakan usaha pengendalian. Kehilangan hasil kentan leh serangan ulat Pthorimaea dapat mencapai 46 % (Eveleens, 1978), sedangkan tanaman kubis yang dtanam pada musim kemarau oleh karena serangan ulat Pthorimaea dapat rusak 100 % (Surawohadi, 1981). Penggunaan pestisida organk sintetik merupakan pilihan utama petani sayuran untuk mengendalikan hama, sedangkan metode pengenalian yang lain kurang banyak digunakan. Pestisida dianggap sebagai produk tehnologi yang mudah diterapkan, hasilnya efektif, tersedia dengan mudah di tingkat petani, dan yang penting secara ekonomis masih menguntungkan apalagi dengan harga pestisida yang sebagian besar disubsidi oleh Pemerintah. Oleh petani dianggap sebagai jamnan bagi keselamatan dan keberhasilan tanamannya, sehingga dapat dikatakan bahwa pestisida tidak dapat dilepaskan dari petani sayuran. Dari hasil beberapa survai yang dilakukan dibeberapa daerah pusat pertanaman sayuran dataran tinggi dan dataran rendah di pulau Jawa, Bali, dan Sumatra diketahui bahwa penggunaan pestisida dari tahun ke tahun meningkat baik dalam hal dosis mapun pemakaian, frekuensi penggunaan, maupun jenis yang dipergunakan. Interval penyemprotan pada pertanaman kentang, tomat,dan kubis dapat mencapai 4 – 5 hari sekali atau antara 12 – 15 kali penyemprotan selama satu musim tanam (Sudarwohadi, 1975). Menurut petani sayuran di Parangtritis, oyakarta penyemprotan mereka lakukan rata-rata 4 – 5 hari sekali tergantung pada intensitas serangan hama yang menyerang tanaman yang diusahakan yaitu lombok, bawang putih, dan bawang merah. Penyemprotan justru lebih inensf dilakukan mendekati waktu anen. Jenis-jenis pestisida yang digunakan petani di Parangtritis dilakukan dapat dilihat pada Tabel l. Dalam aplikasinya ternata petani selalu mecampur beberapa jenis pestisida yang danggap memberikan pengaruh sinergis terhadap hama sasaran. Penggunaan pestisida pada tanaman kubis umumna lebih banak daripada jenis sayuran yang lain. Hal ini disebabkan karena pada beberapa tempat hama kubis (Plutella) telah memperlihatkan resistensi terhadap banyak jenis pestisida yang digunakan petani. Residu Pestisida dalam Sayuran d Indonsia Data tentang residu pestisida dalam sayuran di indonesia masih terbatasnya fasiltas untuk pemantauan residu pestisida. Pemantauan yang dilakukan oleh Lembaga Ekonomi Universitas Pajajaran menunjukkan bahwa pada umumnya kandungan residu pestisida dalam conoh-contoh sayuran di daerah Jawa Barat adalah rendah. Juga dilaporkan adanya residu pestisida pada jenis-jenis sauran yang tdak disemprot pestisida seperti kangkung, genjer, daun talas dan aun singkong (Soemarwoto, 1980). Mlyani dan Sumatera (1982) melaporkan bahwa dari contoh-contoh sayuran yang diambil dari 7 daerah pusat sayuran di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan jawa Timur ditemukan residu beberapa jenis insektisida (DDT, aldrin, diazinon, dieldrin, fenitrothion, fenoat, an khlorpyrifos) meskipun masih jauh di bawah nilai MRL (Maximum Residu Limit) menurut FAO/WHO 1978. Ada satu tempat yaitu di Batu pada wortel ternyata residu DDT hampir mencapai batas MRL. Jenis sayuran yang diambil contohnya adalah kenang, kubis, sawi, tomat, dan wortel. Oshawa et al. (1985) melaporkan bahwa dari cntoh kubis, tomat, dan mentimun yang diambl dari pasar Sri Wedari Yogyakarta ditemukan residu BHC, aldrin, dieldrin, heptachlr, DDT, DDE, dan diazinon dalam kadar yang di bawah nilai MRL. Meskipun demikian masih adanya residu pestisida persisten organokhlor pada contoh sayuran perlu memperoleh perhatian. Effendy (1985) juga menemukan kadar residu metaidofos dari contoh kubis yang diambil dari pasar Pakem, Yogyakarta sebesar 0,014 – 0,120 ppm. Yang masih di bawah nilai NMR. Faktor-faktor yang mempengaruhi residu pestisida dalam sayuran Residu yang terdapat dalam tanaman dapat berasal dari pestisida yang langsung diaplikasikan pada tanaman, atau yang diaplikasikan melalui tanah dan air. Selain daripada itu residu dapat berasal dari kontaminasi melalui hembusan angin, debu yang terbawa hujan dari daerah penyemprotan yang lain, dan juga penanaman pada tanah yang mengandung pestisida persisten. Tinggi rendahnya residu pestisida pada tanaan ditentukan oleh jenis pestisida, dosis dan frekuensi aplikasi, serta waktu aplikasi. Pengaruh jenis pestisida terhadap tingkat residu tergantung pada sifat-sifat fisika dan kimiawinya. Insektisida organokhlor pada umumnya tidak mudah menguap, praktis tidak larut dalam air kecuali lindane, serta mudah larut dalam pelarut organik. Dalam ekosistem kelompok insektisida ini bersifat persisten karena sifatnya yang lipofilik. Insektisida ini tidak bersifat sistemik, meskipun demikian dapat diserap ke dalam jaringan tanaman dalam jumlah rendah. Sedangkan distribusi insektisida organokhlor dalam tanaman sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan struktur jaringan organokhlor dari dalam tanah, tetapi pada varietas tertentu residu organokhlor terdapat pada lapisan luar umbi, sedang pada varietas yang lain residu terdapat juga di dalam jaringan-jaringan tanaman lainnya (Brooks, 1974). Tabel l. Jenis pestisida yang digunakan oleh petani sayuran di Parangtritis Golongan Nama Dagang Bahan Aktif LD 50 Insektisida Organokhlor Tiodan Endosulfan 39 – 79 mg/kg DDT pp’ DDT Tehnis 250 m/kg Organofosfat Lebaycid Fention 178 – 310 mg/kg Dursban Korpirifos 87 – 276 mg/kg Asodrin Mnokrotofos Dazinon Diazinon 150 – 220 mg/kg Tamaron Metamidofos Takution Protiofos Karbamat Bassa, Baycarb BPMC Curater Furadan Di dalam jaringan tanaman insektisida organokhlr mengalami biotransformasi menjadi metabolit yang lebih mudah larut dalam air. Hasil metabolit tersebut dapat bersifat lebih beracun seperti Aldrin yang mengalami epoksidasi menjadi Dieldrin yang lebih persisten dan beracun. Insektisida organofosfat lebih mudah larut dalam air apabila dibandingkan dengan insektisida organokhlor, lebih mudah terhidrolisa menjadi senyawa yang tidak beracun dan mudah larut dalam air. Di dalam jaringan tanaman insektisida organofosfat termetabolisasi dengan pola yang sama dengan metabolismenya dalam tubuh hewan, hanya hasil metabilisme dalam tanaman cenderung disimpan sedangkan pada hewan hasil tersebut segera dikeluarkan. Aktivasi organofosfat dalam tanaman tidak menimbulkan masalah persistensi, tetapi sebagai akibatnya untuk memperoleh kadar yang efektif frekuensi penyemprotan harus ditingkatkan (Eto, 1974).Ada beberapa jenis organofosfat yang bersifat sistemik dan menjadi senyawa yang lebih aktif dan beracun bagi serangga. Senyawa karbamat pada umumnya bersifat sistemik, di alam tanaman karbamat tidak begitu stabil dan cepat termetabilisasi dengan cara teroksidasi dan terkonjugasi menjadi senyawa yang tidak beracun (Chou dan Afghan, 1977). Kecuali jenis insektisida waktu aplikasi sangat menentukan residu pada tanaman terutama waktu aplikasi pestisida terakhir sebelum panen, karena sangat menentukan. Toksisitas Pestisida pada Manusia Toksisitas akut suatu senyawa digambarkan oleh harga LD 50-nya. Dalam Tabel l terlihat bahwa senyawa organofosfat dan karbamat pada umumnya mempunai harga LD 50 lebih tinggi dari seyawa organohlor. Kasus keracunan akut jarang dijumpai di masyarakat, sedangkan kasus keracunan kronis pada umumnya dijumpai pada pelaksana pengendalian hama dan mereka yang bekerja pada industri pestisda. Pada pestisida yang bersifat persisten, seperti insektisida organokhlor, kemungkinan terjadi kasus keracunan kronis lebih besar dari pada pestisda yang tidak persisten. Hal ini terjadi karena adanya bioakumulasi, yaitu proses dinamika yang terjadi bila pemasukan (intake) lebih besar dari pengeluarannya (excretion). Karena sifatnya yang lipofilik senyawa organokhlor yang mask ke dalam tubuh akan segera terdistribusi ke dalam jaringan-jaringan dengan kandungan lemak yang tinggi dan tersimpan di dalam lemaknya. Senyawa organokhlor tersebut dapat diekskresikan bersama dengan lemak melalui air susu, sehingga terjadi transfer residu insektisida yang telah terakumulasi dalam tubuh Ibu kepada anak yang disusuinya. Hal ini perlu mendapat perhatian karena anak jauh lebih peka daripada orang dewasa. Rendahnya kadar residu pestisida dalam makanan,jelas tidak akan menimbulkan gejala keracunan kronis mapun aukt,tetapi dapat menimbulan efek subtil (subtle effect) yaitu efek lanjut jangka pajang yang terjadi pada dosis rendah yang berkali-kali. Penelitian mengenai efek subtil pada manusia tidak mungkin diakukan, sehingga pengamatan pada hewan percobaan merupakan indikasi utama pada manusia. Efek subtil dapat berupa perubahan histolgis dan patologis, efek karsinogenik, tumorigenik, mutagenik dan teratogenik. Perubahan sitolgis dapat terjadi pada pemberian 5 – 15 ppm DDT pada ransum makanan tikus jantan. Perubahan ini bersifat reversibel, hal ini menunjukkan adanya ”induksi” terhadap enzim dalam hati (Ortega, 1962). Insektisida organofosfat dan karbamat dapat menimbulkan efek neuropatologi karena demielinasi pada jaringan pelindung syaraf. Untuk mengetahui efek karsinogenik dan tumorigenik suatu pestisida, diperlukan penelitan mult generasi. Pembeian pp’ DDT 0,4 – 0,7 mg/kg/hari dalam ramsum makanan tikus, menngkatkan terjadinya leukimia dan tumor pada generasi kedua dan ketiga, sedang padagenerasi kelima, terjadinya kanker paru-paru meningkat sampai 25 kali (Kemeny dan Tarjan, 1966,1969). Kepustakaan mengenai efek karsinogenik insekstisida organofosfat dan karbamat sangat jarang, sehingga belum dapat dipastikan bahwa senyawa-senyawa tersebut tidak menimbulkan kanker atau tumor. Beberapa insektisida seperti karbaril,DDt, dieldrin, lindane, fenion dan malation, menimbulkan efek magenik dan teratogenik pada dosis yang lebih tinggi dari pada dosis yang terdapat dalam lingkungan pada umumnya (Epstein dan Legators, 1971), meskipun demikian hal ini perlu diperhatikan juga. Cara Menguangi Residu Pestisida Untuk masyarakat pada umumnya, pemasukan pestisida terutama melalui makanan.Adanya efek lanjut jangka panjang karena dosis rendah yang berulang-ulang, menharuskan usaha penurunan tingkat residu pestisida dalam makanan sampai tingat yang serendah-rendahnya. Usaha ini dapat dilakukan dilapangan dan pada penanganan pasca panen. Usaha mengurangi residu di lapangan dapat dilakuan dengan beberapa cara yaitu: 1. Pemilihan jenis insektisda yang efektif terhadap hama, aman bagi manusia dan lngkungan, serta memilki persistensi yang rendah, sehingga meninggalkan residu yang serendah mungkin. 2. Penggunaan dan pengembangan jenis-jenis insektisida yang baru, yang lebih spesifik dan aman seperti insektisida biolgis, insect Growh Regulator, atrakan dan lain-lain. 3. Penggunaan dosis dan cara aplikasi yang tepat sesuai dengan rekomendasi. 4. Frekuensi penyemprotan pestisida dikurangi, hanya apabila perlu, yaitu sewaktu aras populasi hama melebihi tingkatan yang merugikan secara ekonomis. Penanganan pasca panen yang dapat dilakukan untuk mengurangi residu pestisida, antara lain: 1. Pencucian: cara ini dapat mengurangi sebagian kandungan residu pestisida. Pncucian bayam yang disemprot dengan karbaril, DDT dan paration, menunjukkan penurunan residu 66 – 87 % untuk karbaril, 17 – 48 % untuk DDT dan 0 – 9 % untuk paration. Penambahan detergent pada pencucian akan memperbesar penurunan tingkat residu. 2. Pengupasan: apabila pestisida yang digunakan bersifat non-sistemik dan struktur jaringan yang dikenai pestisida, menghambat translokasi residu ke jaringan lainnya, pengupasan sangat membantu dalam saha menurunkan tingkat residu pestisida. 3. Perendaman dalam air panas (blanching): penurunan kandungan residu dengan cara ini cukup besar. Pada bayam dapat terjadi penurunan sebesar 38 – 60 % untuk DDT, 49 – 71 % untuk paration, dan 96 – 97 % untuk karbail (Lamb et al., 1968).
no reviews yet
Please Login to review.