Authentication
193x Tipe PDF Ukuran file 0.16 MB Source: 2001
Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek1 Pengantar Kebijakan otonomi daerah telah menjadi pemicu lahirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di berbagai propinsi dan kabupaten. Tapi sayangnya dari sekian banyak Perda yang dihasilkan tersebut cenderung dibuat dengan cara yang kurang melibatkan publik dan tidak transparan. Sehingga tidak jarang terjadi penolakan terhadap peraturan yang dibuat. Sebagai contoh, di Sumatera Barat publiknya bereaksi keras terhadap Perda tentang APBD Propinsi Sumbar karena banyaknya tunjangan untuk DPRD yang tidak masuk akal dan di-mark up. Begitu pula di Jakarta, publik menjadi berang ketika APBD DKI Jakarta memberikan uang kopi kepada gubernur sebesar 90 juta. Bahkan kalangan pengusaha yang terhimpun dalam KADIN menyampaikan keluhan kepada presiden bahwa terdapat 1.006 Perda yang bermasalah dan memberatkan dunia usaha.2 Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak Perda yang bermasalah dan merugikan bagi publiknya. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa hal itu timbul karena beberapa faktor, di antaranya: instrumen hukum yang ada kurang mendukung untuk melibatkan publik, struktur atau institusi pembuat kebijakan yang kurang siap dikarenakan sumber daya manusia yang ada tidak memadai, dan budaya atau perilaku eksekutif dan legislatif daerah yang masih bercorak orde baru. Tata Cara Penyusunan Perda yang Elitis Hampir sama dengan proses pembuatan undang-undang, proses pembuatan Perda juga dapat muncul melalui dua jalur, yaitu atas usulan eksekutif (pemda) dan atas usulan legislatif (DPRD). Selama kebijakan otonomi bergulir –- yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah -- instrumen hukum dari pemerintah pusat yang dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun peraturan di tingkat daerah terbatas pada PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD, dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Dalam prakteknya, 1 Tulisan ini sebagian besar, terutama yang berkenaan dengan PP No 1 Tahun 2001 dan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 dikutip dari Manual PHR oleh Q-Bar, LBBT, RMI, PPSHK Kalbar,Komite HAM Kaltim, LP2S, YBH Bantaya, ptPPMA, HuMa. 2 Media Indonesia, 24 November 2001 http://www.huma.or.id 2 Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek karena lazimnya prosedur penyusunan rancangan Perda atas usulan DPRD diatur dalam tata tertib DPRD –- yang penyusunannya mengacu pada PP No. 21 Tahun 2001 -- maka usulan rancangan Perda atas usulan DPRD lebih mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001. Sedangkan Kepmendagri No. 23 Tahun 2001 lebih diperlakukan sebagai pedoman penyusunan rancangan Perda atas usulan pemda. Tata tertib DPRD yang menjadi pedoman penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) ternyata tidak hanya sekadar mengacu pada PP No. 1 Tahun 2001, kenyataannya tatib yang disusun oleh DPRD – yang dituangkan dalam keputusan DPRD – malah menyerupai PP No. 1 Tahun 2001. Itu sebabnya dari segi isi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar tatib di seluruh kabupaten/kota, kecuali untuk hal yang sifatnya penyesuaian. Misalnya persyaratan jumlah minimal anggota untuk bisa mengajukan usulan. Sebagai contoh, tatib DPRD Kota Balikpapan hanya mensyaratkan sekurang-kurangnya empat orang yang terdiri dari lebih satu fraksi, sementara Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Kertanegara menpersyaratkan minimal lima orang yang berasal dari lebih satu fraksi. Padahal dilihat dari isinya, dalam PP No. 1 Tahun 2001 boleh dikatakan ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan masukan sangat sempit. Ironisnya, tatip DPRD justru menutup diri sama sekali dan tidak mengagendakan konsultasi publik dan cenderung elitis. Lain halnya dengan Raperda usulan DPRD, prosedur penyusunan Raperda usulan pemda saat ini diatur melalui Kepmendagri No. 23 Tahun 2001. Pada bagian mengingatnya kepmendagri ini mencantumkan Keppres No. 188 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, namun demikian kepmendagri ini tidak dapat dikatakan sebagai aturan pelaksanaan dari keppres tersebut. Hal ini tidak lain dikarenakan Keppres No. 188 Tahun 1998 hanya diperuntukkan untuk penyusunan UU, tidak untuk Perda atau peraturan yang lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencantuman Keppres No. 188 Tahun 1998 merupakan suatu kekeliruan meskipun dari segi materi kepmendagri ini merupakan dari Keppres tersebut. Dilihat dari segi isinya, kepmendagri No. 23 Tahun 2001 pun belum memberikan peluang yang banyak kepada publik untuk berpartisipasi dalam penyusunan Raperda. Apabila dibuat ke dalam bentuk diagram, urutan pembuatan kebijakan daerah berdasarkan kedua peraturan tersebut dapat terlihat seperti di bawah ini: http://www.huma.or.id 3 A. Diagram Usulan DPRD Berdasarkan PP. No. 1 Tahun 2001 1. Usul dari Anggota 2. Usul disampaikan kepada Pimpinan DPRD 3. Sekretariat DPRD DPRD dalam bentuk rancangan disertai memberi nomor pokok penjelasan secara tertulis terhadap usulan 4. Tanggapan Anggota 5. Dalam Rapat 6. Setelah mendapat pertimbangan dari DPRD lainnya, Paripurna pengusul Panitia Musyawarah, usulan disampaikan Kepala Daerah menjelaskan atas Pimpinan DPRD pada Rapat Paripurna terhadap usulan usulan 7. Tanggapan dari 8. Keputusan DPRD untuk 9. Pembahasan Raperda oleh komisi/rapat pengusul menerima atau menolak gabungan komisi/pansus bersama usul menjadi usulan DPRD pejabat yang ditunjuk oelh kepala daerah 13. Rapat Paripurna 12. Sambutan Kepala 11. Pendapat akhir 10. Laporan hasil menyetujui Daerah atas Fraksi-fraksi pembahasan oleh Raperda yang Raperda yang dalam Rapat Pimpinan Pansus dituangkan dalam hendak disetujui Paripurna dalam Rapat Paripurna Keputusan DPRD 14. Pengesahan dan Pengundangan B. Usulan Pemda Berdasarkan KepMendagri No. 23 Tahun 2001 1. Pimpinan unit kerja memprakarsai 2. Usulan yang dilampiri pokok-pokok pikiran penyusunan Raperda diajukan kepada sekretaris daerah untuk diadakan sinkronisasi dan harmonisasi yang ditugaskan pada bagian hukum 5. Penyusunan dan 4. pembahasan draft awal pembahasan Raperda oleh oleh unit kerja yang 3. Setelah mendapat persetujuan bagian hukum atau Tim melibatkan bagian hukum dari Sekretaris Daerah, unit antar unit kerja dan unit kerja terkait kerja menyiapkan draft awal 6. Penyampaian hasil pembahasan kepada kepada 7. Sekretaris Daerah 8. Sidang pembahasan raperda Sekretaris Daerah melalui menyampaikan Raperda oleh pejabat yang ditunjuk oleh Bagian Hukum yang kepada DPRD kepala daerah bersama DPRD selanjutnya diajukan kepada Kepala Daerah untuk disetujui 11. Pengesahan dan 10. Raperda yang disetujui 9. Rapat Paripurna DPRD untuk Pengundangan Perda selanjutnya ditetapkan menyetujui hasil pembahasan oleh keputusan DPRD dengan mengagendakan penjelasan resmi dari pemda terhadap Raperda http://www.huma.or.id 4 Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam Teori dan Praktek Mesin Copy Paste Sesuai dengan dasar kewenangan penyusunan Perda, perancang Perda adalah aparat pemda dan anggota DPRD. Dalam pembuatan peraturan setidak-tidak pihak-pihak tersebut mengerti dasar-dasar teknik pembuatan peraturan perundang-undangan. Permasalahan yang sering timbul di tingkat perancangan Perda adalah aparat yang berwenang kurang memiliki kemampuan mengenai mekanisme pembuatan perundang-undangan. Sebagai contoh, aparat bagian hukum Pemda Kabupaten Merangin mengakui bahwa kemampuan drafting DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif masih sangat terbatas sehingga tidak dapat dihindari jika eksekutiflah yang kemudian menjadi mesin penyusun Perda-perda yang ada di Merangin. Selain itu sejak tahun 2001, dari ± 42 Perda yang telah dihasilkan Kabupaten Merangin, belum satu pun yang merupakan hasil inisiatif DPRD. Ini terjadi karena kesalahan persepsi oleh anggota DPRD Merangin mengenai hak inisiatif seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Ketua Komisi B DPRD, inisiatif penyusunan peraturan perundang- undangan diartikan hanya sebagai memunculkan ide saja, dan selanjutnya ide tersebut diserahkan kepada eksekutif untuk ditindaklanjuti menjadi Perda.3 Kenyataan ini mengindikasikan bahwa institusi yang ada sebagai pihak yang berwenang menyusun Perda, masih kurang memadai untuk menghasilkan produk hukum yang berkualitas. Sayangnya kekurangmampuan menciptakan produk hukum yang berkualitas itu tidak diimbangi dengan pelibatan publik untuk berperan aktif. Tidak heran jika produk-produk yang dihasilkan di tiap-tiap daerah agak mirip bahkan tak jauh beda dari segi isi karena praktek copy paste yang dilakukan terhadap peraturan-peraturan yang lain. Hampir seluruh kabupaten di Indonesia memiliki Perda mengenai pemerintah daerah yang tidak mempunyai perbedaan signifikan satu dengan yang lain. Jumlahnya selalu sama, berkisar antara 11 – 13 buah, demikian pula dengan judul-judul yang digunakan. Perilaku Lama Oleh Pemain Lama Corak pelaksanaan otonomi daerah, yang berimbas pada proses pembuatan kebijakan daerah, dalam realitanya lebih diartikan sebagai politik bagi-bagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah serta dijadikan peluang bagi elit- elit politik lokal untuk membangun kekuatan-kekuatan politik di tingkat lokal, maka perhatian terhadap publik tidak jauh beda ketika rezim orde baru berkuasa. Masih bertahtanya pandangan kolot bagian hukum pemda turut menyumbang pada upaya pelanggengan proses pembuatan kebijakan daerah yang anti terhadap partisipasi publik. Rakyat masih tetap dianggap sebatas penyampai aspirasi, sementara tugas untuk menuangkannya dalam bentuk kebijakan daerah masih 3 Contoh ini diambil dari Laporan Kunjungan Lapangan Jambi, 24 Oktober – 04 November 2002, Titi Anggraini dan Reny Rawasita, IHSA. http://www.huma.or.id 5
no reviews yet
Please Login to review.